27 Des 2012
26 Des 2012
21 Des 2012
Mental Loyo
Underground Tauhid - Bangun subuh kesiangan,
berangkat kerja terlambat, sampai dikantor tidak segera memulai
pekejaan, bahkan sempat buka internet. Istirahat siang langsung makan,
karena kekenyangan setelah makan kemudian tidur di masjid, atau ketika
kelaparan puasa ramadhan pun tidur setelah zhuhur, di masjid kantor.
Jadi, kekenyangan ngantuk, kelaparan juga ngantuk.
Pulang kerja kecapean tidak bisa berbasa basi dengan anak dan istri.
Tidak sanggup lagi mengeluarkan kalimat romantis dan mesra terhadap
anggota keluarga. Tidak mampu lagi bercanda dan bercengkrama dengan
seisi rumah. Rumah terasa hampa seperti losmen atau hotel. Semua sudah
kecapean dengan urusannya masing-masing.
Ketika adzan tiba, badan terasa letih, tidak mampu berjalan pergi
menuju masjid, walau hanya beberapa meter saja dari jarak rumahnya.
Shalat di rumahpun sudah di akhir waktu, tanpa kekhusyu’an lagi. Setelah
itu tidur tanpa persiapan, tanpa doa langsung terkapar di tempat tidur.
Hampir seluruh pekerjaan di rumah dikerjakan oleh pembantu, sampai
menyiapkan makan dan minumpun dikerjakan pembantu. Meletakan baju bekas
dipakai, memasukan baju yang baru distrika, melayani kebutuhan anak,
sampai membuang sampah di tempat sampah depan rumah juga dilakukan oleh
pembantu.
Sementara anak-anak sibuk dengan handphone, playstation, internet,
serta sibuk dengan hobinya. Jarang sekali orang tua menyuruh
anak-anaknya dalam menyelesaikan perkejaan rumah tangga, karena sudah
dilakukan oleh pembantu. Akibatnya anak tidak banyak memiliki
keterampilan hidup, tidak mandiri, tidak banyak bergerak, badan jadi
rapuh, kemanjaan yang luar biasa, tidak tahan dengan berbagai benturan,
cepat putus asa, banyak tuntutan, kurang sensitifitas, hari-hari yang
dipikirkan hanya kesenangannya sendiri, jadi egois. Tidak terlalu care (peduli) terhadap apa yang terjadi disekelilingnya.
Telpon berdering tidak cepat diangkat karena saling mengandalkan,
kakak menyuruh adik, adik menyuruh adiknya lagi. Tamu memberi salam
tidak segera dijawab, karena semua mengandalkan pembantu atau orang
lain. Bahkan mengambil baju yang cuma jarak 2 meter saja menyuruh pembantu yang posisinya sangat jauh.
Dengan semakin majunya teknologi yang banyak membantu pekerjaan
manusia, maka semakin lagi menambah kemalasan dan kemanjaan. Hampir
semua orang ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat dan mudah, sehingga
suka mengambil jalan pintas. Rumah makan siap saji menjadi laris, karena
pelayanan yang cepat. Dukun-dukun makin laris karena menjanjikan dapat
uang banyak dengan cepat, mudah dan tanpa kerja keras. Perjudian juga
semakin marak karena punya khayalan yang tinggi ingin cepat kaya.
Silaturahim semakin berkurang karena sudah tergantikan dengan telpon,
SMS, serata Internet. Temasuk akhirnya pergaulan bebas, tidak sabar
menunggu masa pernikahan serta kemapanan, sementara tuntutan biologis
sudah semakin menggebu-gebu, tidak kuat, dan akhirnya cari jalan pintas.
Bagi orang yang jeli dalam berbisnis, budaya malas dan manja menjadi
peluang emas untuk bisa berjualan barang atau jasa yang sifatnya cepat,
mudah, dan membantu konsumen tanpa kerja keras. Berarti kemalasan itu
juga akhirnya harus dibayar mahal. Sama dengan kebodohan juga mahal,
karena kita tidak mampu membuat atau mengerjakan sendiri, maka semakin
banyak kita membutuhkan jasa orang lain untuk membayar kemalasan dan
ketidakmampuan kita.
Kamalasan berupaya bagaimana menggali kekayaan alam kita sendiri,
seperti emas, perak, minyak, gas, batu bara dan lain-lain akhirnya kita
serahkan pengolahannya pada orang asing. Kemalasan kita juga dalam
hitung-menghitung produksi, penjualan dan cara bagi hasil yang adil,
menyebabkan kita juga banyak mengalami kerugian dalam memperoleh bagi
hasil kekayaan alam kita sendiri. Kemalasan kita untuk serius mengurus
pertanian, perkebunan, perdagangan serta industri kebutuhan masyarakat,
menyebabkan membanjirnya barang-barang impor. Karena produksi dalam
negeri tidak mencukupi atau kalah persaingan dalam hal kualitas. Sampai
sampai kedelai pun impor, padahal tempenya makanan rakyat. Lebih sadis
lagi garam saja impor, padahal negeri ini dua pertiganya lautan.
Kemalasan para pejabat untuk mencari sumber devisa yang lebih
produktif dan lebih terhormat, menyebabkan menjamurnya manajemen ala Pak
Ogah dan Pak Ableh si tukang palak, yang pandainya hanya memungut pajak
saja. Sampai warteg akan dikenakan pajak. Mungkin sebentar lagi mereka
akan berfikir bagaimana agar BAB, pipis, dan kentut juga bisa kena
pajak.
Kita melihat orang-orang yang loyo, malas dan manja hampir merata di
semua lapisan masyarakat, mulai dari siswa sampai para pejabat
negaranya. Sehingga budaya instan menjadi pilihan dalam mengurus diri
sendiri, keluarga, masyarakat sampai kepada mengurus negara, jadi serba
instan.
Langganan:
Postingan (Atom)